Pernah memperhatikan pesawat terbang
atau menumpanginya? Penulis yakin kebanyakan dari kita pernah melakukan
paling tidak salah satu dari hal tersebut, baik itu terkait “pesawat
terbang” yang seperti gambar berikut ini (maksudnya pesawat kertas):
ataupun yang berikut ini, Boeing 777-300ER terbaru milik Garuda Indonesia:
Di sini penulis akan memfokuskan pembahasan prinsip-prinsip fisika untuk tipe pesawat yang terakhir (ya iyalah… masa ya iya dong…).
Pesawat ini jauh lebih besar, jauh lebih serius, dan seolah telah
memperkecil dunia sejak pertama kali diluncurkan oleh Wright bersaudara
pada tahun 1903 silam. Sejak peluncuran “mesin terbang” pertama di dunia
saat itu, sudah ribuan “burung besi” dibuat dan diterbangkan di seluruh
penjuru dunia. Hal ini tentunya sering menimbulkan rasa takjub bagi
orang-orang yang memperhatikannya.
Robert L. Wolke, seorang profesor kimia yang juga penulis terkenal, telah menulis sebuah buku berjudul What Einstein Told His Barber: More Scientific Answers to Everyday Questions (dalam bahasa Indonesia berjudul Kalau Einstein Lagi Cukuran,
Ngobrolin Apa Ya? Lebih Banyak Penjelasan Ilmiah untuk Peristiwa
Sehari-hari). Dalam buku tersebut salahsatunya diulas tentang mekanisme
terbangnya pesawat. Di dalam tulisannya ia mengakui, “I looked up in
utter dis-belief at the four-hundred-ton monster that had just wafted me
across the Atlantic Ocean at an altitude of more than five miles (eight
kms) above Earth’s surface.”
Terkadang memang sulit bagi kita
membayangkan bagaimana bisa sebuah bongkahan logam seberat empat ratus
ton membawa kita terbang di udara selama berjam-jam pada ketinggian
rata-rata 10 kilometer. Namun, jelas-jelas itu bisa terjadi, dan, ia
terjadi tiap hari. Jadi kita tidak perlu bingung, segera akan dijelaskan
bagaimana hal itu bisa terjadi.
Dari buku yang sama itu, penulis
mengutip penjelasan yang akan disampaikan dalam tulisan ini.
Pertama-tama, mari kita ingat-ingat sedikit, di pelajaran sekolah sudah
banyak dibahas mengenai prinsip-prinsip fisika di balik terbangnya
pesawat. Masalahnya, seringkali, kalau bukan selalu, para pelajar
diarahkan untuk mempercayai begitu saja bahwa pesawat dapat terbang
hanya karena sebuah prinsip yang dikenal dengan nama Prinsip Bernoulli.
Prinsip ini, seperti sudah jelas dari namanya, dirumuskan oleh seorang
matematikawan Swiss bernama Daniel Bernoulli (1700-1782), yang
merumuskan konsep dinamika fluida dalam persamaan berikut:
Bagi yang tidak familiar dengan
fisika, jangan langsung mual. Ketiga suku pada masing-masing ruas
persamaan ini hanya merunutkan tekanan (p) yang diberikan si fluida, energi gerak fluida per satuan volume (), dan energi potensial fluida per satuan volume (ρgh) pada dua buah titik yang berbeda (dinyatakan oleh indeks 1 dan 2).
Fakta alam yang ingin ditunjukkan oleh
persamaan Bernoulli ini adalah, bahwa ketika sebuah fluida (entah apakah
itu air, semilir angin, atau hasil buang gas orang di sebelah Anda)
bergerak lebih cepat, tekanan fluida tersebut terhadap lingkungan
sekitarnya akan berkurang. Kejadian ini mirip seperti seorang pelari,
yang lebih sulit untuk mendorong orang di sampingnya daripada ketika ia
berjalan normal.
Cukupkah Prinsip Bernoulli saja?
Lantas, apa hubungannya dengan pesawat
terbang? Menurut orang-orang yang sudah puas dengan prinsip Bernoulli
sebagai satu-satunya mekanisme di balik kemampuan pesawat terbang, sayap
pesawat dirancang sedemikian rupa dengan bagian atas yang lebih
melengkung dari bagian bawah (kenyataannya memang begitu). Dengan
rancangan sayap semacam itu, menurut mereka, ketika udara melalui sayap
pesawat, udara yang melintas di bagian atas akan melintas lebih jauh.
Oleh karena waktu tempuh udara di atas sayap dan di bawah sayap sama
(asumsi waktu transit sama), kecepatan udara diatas sayap lebih besar,
yang berarti, tekanan di atas sayap lebih kecil daripada di bawah.
Adanya perbedaan tekanan menyebabkan adanya gaya tekan udara, yang
totalnya mengarah ke atas. Hal inilah yang diklaim menjadi sebab utama
pesawat dapat terbang.
Sebenarnya teori tersebut hampir
semuanya benar, kecuali untuk satu hal: asumsi waktu transit sama hampir
tidak berlaku pada kenyataan sebenarnya. Tidak ada alasan penting bagi
udara yang terpecah ke atas dan ke bawah sayap untuk kembali bertemu
dalam waktu bersamaan. Dengan demikian, meskipun mungkin aliran udara di
bagian atas sayap memang mengalir lebih cepat daripada di bawah sayap,
perbedaan kecepatan yang ada tidak akan mampu untuk mengangkat pesawat
ketika hanya prinsip Bernoulli yang diperhitungkan. Supaya perbedaan
kecepatan itu bisa cukup besar sesuai prinsip Bernoulli, sayap pesawat
harus dibuat sedemikian melengkung layaknya punggung paus! Namun, sayap
yang seperti itu justru akan lebih membebani pesawat lagi sehingga akan
jauh lebih sulit untuk sekadar mengangkat pesawat.
Prinsip apa lagi, dong?
Lalu, kalau bukan hanya karena
Prinsip Bernoulli, lantas apa faktor utama yang menyebabkan pesawat bisa
terbang? Sekarang serahkan tampuk penjelasan kepada Isaac Newton
(1642-1727). Newton, sebagaimana banyak orang ketahui, terkenal terutama
atas ketiga hukumnya mengenai gerak, dan juga karena hukum gravitasi-nya Newton
(soalnya Einstein teori gravitasi yang lain). Ketiga hukum Newton ini
amat berguna karena dapat diaplikasikan pada hampir semua kondisi di
alam semesta, selama benda yang ditinjau tidak terlalu ringan (lebih
ringan dari sebuah elektron) atau tidak bergerak terlalu cepat
(mendekati kecepatan cahaya). Lalu, bagaimana hukum Newton diaplikasikan
pada sayap pesawat terbang?
Sabar dulu… Begini… Rancangan sayap yang
telah disebutkan pada penjelasan prinsip Bernoulli, selain membuat
aliran udara yang sedikit lebih cepat di bagian atas sayap daripada di
bagian bawah, ternyata juga menghembuskan udara yang dibelahnya ke arah
bawah. Kok bisa? Ini semua bermula dari kenyataan bahwa sebuah
fluida yang mengalir di permukaan sebuah benda lengkung akan cenderung
untuk mengikuti bentuk lengkung benda (meskipun pada akhirnya akan
menyimpangkan arah laju fluida) sebelum kemudian melanjutkan perjalanan.
Efek ini dikenal dengan nama Efek Coandă, merujuk kepada ahli
aerodinamika Henri-Marie Coandă (1885-1972). Contoh efek Coandă dalam
kehidupan sehari-hari dapat kita lihat pada aliran air yang berbelok di
sekitar lengkungan kepala sendok (kita bisa coba juga pada permukaan
gelas).
Sekarang bayangkan udara
yang mengalir di atas dan di bawah sayap pesawat. Sayap pesawat
membelah aliran udara menjadi ke atas dan ke bawah, dan sesuai dengan
efek Coandă, udara yang mengalir di sayap pesawat akan mengikuti bentuk
lekukan sayap tersebut. Disinilah kuncinya: Bentuk sayap yang
sedemikian rupa membuat udara yang mengalir di atas ‘diarahkan’ sehingga
secara umum lebih banyak udara yang dihembuskan ke arah bawah. Dari
fakta ini, sesuai hukum 3 Newton, dengan adanya udara yang dihembuskan
ke bawah oleh sayap, udara di bawah pesawat akan ‘balas mendorong’
pesawat. Nah! “Balasan” inilah yang menjadi gaya angkat pesawat!
Ah, ada satu faktor lagi.
Jika kita lihat penampang melintang sayap pesawat, akan kita dapati
bidang sayap pesawat tidaklah sejajar dengan tubuh pesawat, tetapi agak
miring di bagian depan (yang disebut sebagai angle of attack)
dengan sudut sekitar 4 derajat untuk pesawat-pesawat kecil. Dengan
bentuk seperti ini, udara yang dilintasi pesawat akan sedikit ‘tertahan’
di bagian bawah sayap, yang akhirnya mendorong sayap ke atas. Efek
serupa dapat kita jumpai jika kita merentangkan tangan keluar kaca
jendela mobil yang melaju, dan menaikkan sisi yang menghadap arah angin
sedikit. Akan ada dorongan yang cukup kuat ke atas. Prinsip-prinsip
inilah, dengan sedikit kontribusi prinsip Bernoulli, yang menjadi faktor
utama di balik terbangnya sebuah pesawat.
(disadur dari buku Kalau Einstein Lagi Cukuran, Ngobrolin Apa Ya? Lebih Banyak Penjelasan Ilmiah untuk Peristiwa Sehari-hari, halaman 19-21 dengan banyak perubahan)
Penulis:
Gianluigi Grimaldi Maliyar, mahasiswa Tohoku University, Jepang.
Kontak: gian.gmaliyar@gmail.com
Gianluigi Grimaldi Maliyar, mahasiswa Tohoku University, Jepang.
Kontak: gian.gmaliyar@gmail.com
Sumber: http://majalah1000guru.net