Pesawat siluman dikenal sebagai teknologi andalan dalam militer modern karena kemampuannya menghindari deteksi radar konvensional. Namun, terobosan terbaru dari para peneliti China berhasil mengguncang asumsi tersebut. Sebuah tim fisikawan di fasilitas militer dekat Chengdu, berhasil mendeteksi drone siluman dari jarak 350 kilometer menggunakan radar kuantum — tanpa mengandalkan satu pun sinyal radio tradisional.
Radar konvensional bekerja dengan memancarkan gelombang radio dan mendeteksi pantulannya dari objek. Sebaliknya, radar kuantum menggunakan foton gelombang mikro yang terjerat secara kuantum (entangled photons). Teknik ini dikenal sebagai “quantum ghost imaging”, yaitu metode di mana keberadaan objek dideteksi berdasarkan gangguan terhadap pasangan partikel kuantum, bahkan jika objek tersebut tidak memantulkan sinyal apapun.
Keunggulan utama radar kuantum adalah kemampuannya mengatasi sistem penyamaran canggih. Material siluman yang biasanya menyerap atau menghamburkan gelombang radio tidak dapat mencegah gangguan dalam keterikatan kuantum. Dengan kata lain, radar ini tidak membutuhkan pantulan sinyal untuk mengetahui keberadaan objek — cukup dengan mendeteksi perubahan dalam hubungan antar partikel foton, sistem bisa merekonstruksi gambar dari target yang diamati.
Proyek ini merupakan hasil kolaborasi antara University of Science and Technology of China dan sebuah laboratorium pertahanan. Ini adalah pencapaian penting karena untuk pertama kalinya deteksi berbasis kuantum berhasil dilakukan dalam jarak jauh dan di lingkungan atmosfer nyata, bukan hanya di laboratorium.
Implikasinya sangat besar: jika teknologi radar kuantum ini berhasil dikembangkan dan diadopsi secara luas, maka sistem siluman tradisional bisa kehilangan relevansinya. Dalam medan perang masa depan, pertarungan bukan lagi tentang kekuatan sinyal, melainkan tentang prinsip-prinsip fisika kuantum yang tidak bisa disembunyikan.
Sayangnya, perkembangan pesat ini juga menjadi pengingat keras bagi negara-negara lain. Di Indonesia, misalnya, perhatian dan anggaran pertahanan masih banyak difokuskan pada pembelian alutsista seperti jet tempur canggih (Rafale, F-16, F-35), ketimbang investasi strategis dalam riset dan pengembangan teknologi pertahanan dalam negeri. Padahal, tanpa dukungan serius terhadap riset dan inovasi, kita hanya akan terus menjadi konsumen teknologi, bukan penciptanya.