Air merupakan salah satu elemen paling penting dalam kehidupan manusia. Dalam Al-Qur’an, air tidak hanya disebut sebagai sumber kehidupan, tetapi juga sebagai instrumen ilahi dalam menyampaikan petunjuk dan pelajaran. Artikel ini mengkaji QS. Al-Baqarah ayat 59–60 secara ilmiah dan teologis dengan menyoroti peristiwa mukjizat Nabi Musa a.s. ketika Allah memancarkan dua belas mata air dari batu. Pendekatan yang digunakan adalah tafsir tematik, kajian historis, dan pendekatan ilmiah dari segi hidrologi dan lingkungan. Hasil kajian menunjukkan bahwa ayat ini tidak hanya memiliki makna spiritual, tetapi juga dapat menjadi refleksi terhadap pemanfaatan dan konservasi air secara bijak dalam kehidupan modern.
Air adalah sumber kehidupan yang tak tergantikan. Dalam ilmu pengetahuan modern, sekitar 60% tubuh manusia terdiri dari air, dan 70% permukaan bumi tertutup oleh air. Dalam perspektif Al-Qur’an, air disebut sebagai "sumber segala sesuatu yang hidup" (QS. Al-Anbiya: 30). Salah satu kisah menakjubkan tentang air termuat dalam QS. Al-Baqarah ayat 59–60 yang menarasikan mukjizat Nabi Musa a.s. dan kaumnya.
QS. Al-Baqarah: 60
"Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, maka Kami berfirman, 'Pukullah batu itu dengan tongkatmu.' Maka memancarlah darinya dua belas mata air. Sungguh, setiap suku telah mengetahui tempat minumnya masing-masing. Makan dan minumlah dari rezeki Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di bumi dengan berbuat kerusakan." (QS. Al-Baqarah: 60)
Tafsir
dan Makna Historis
Menurut tafsir Al-Qurthubi dan Ibn Kathir,
ayat ini merujuk pada kejadian saat Bani Israil kehausan dalam pengembaraan di
padang Tih setelah keluar dari Mesir. Nabi Musa a.s. memohon kepada Allah, lalu
diperintahkan untuk memukul batu dengan tongkatnya. Dari batu tersebut memancar
dua belas mata air, sesuai jumlah kabilah (suku) Bani Israil. Ini
menunjukkan keadilan Allah dalam mendistribusikan rezeki serta penataan sosial
yang rapi.
Kajian
Ilmiah
Perspektif Hidrologi
Fenomena air memancar dari batu bukanlah
mustahil secara ilmiah. Dalam ilmu geologi, air tanah (groundwater) dapat
terperangkap dalam lapisan batuan (akuifer) dan keluar dalam bentuk mata air
ketika tekanan dilepaskan atau lapisan kedap air terganggu. Namun dalam konteks
ini, mukjizat Nabi Musa adalah kejadian luar biasa di luar hukum alam biasa
(khariqun lil ‘adah), yang tidak bisa dijelaskan semata-mata dengan sains.
Manajemen Air Tradisional
Kisah ini mencerminkan prinsip pendistribusian air yang adil. Dalam teknik irigasi kuno (seperti qanat di Persia atau subak di Bali), pembagian air dilakukan dengan sangat sistematis berdasarkan kebutuhan dan kelompok masyarakat. Dua belas mata air yang langsung terhubung dengan dua belas suku menunjukkan kebijakan pengelolaan air berbasis komunitas, yang relevan dengan manajemen sumber daya alam masa kini.
Relevansi Kontemporer
- Konservasi Air: Ayat
ini mengandung nilai konservasi. Dalam konteks modern, meningkatnya krisis
air bersih menuntut penggunaan air secara efisien dan adil.
- Etika Konsumsi:
Kalimat "makan dan minumlah dari rezeki Allah dan jangan berbuat
kerusakan" mengajarkan untuk tidak serakah atau mengeksploitasi
sumber daya secara berlebihan.
- Distribusi yang Adil:
Prinsip pembagian air berdasarkan kebutuhan kelompok sosial sangat relevan
dalam pembangunan berkelanjutan dan keadilan ekologis.
QS. Al-Baqarah: 59–60 bukan hanya kisah
sejarah, tetapi juga mengandung pelajaran ilmiah dan sosial. Mukjizat air yang
keluar dari batu menunjukkan kekuasaan Allah sekaligus mengajarkan pentingnya
manajemen sumber daya air yang adil, bijak, dan tidak merusak lingkungan. Dalam
era modern, pemahaman terhadap ayat ini dapat memperkuat kesadaran akan
konservasi air, keadilan distribusi, dan pengelolaan lingkungan berbasis
nilai-nilai ilahiah.