Pengajaran Fisika di Indonesia Membunuh Kreativitas Murid

0
Guru Besar Fisika Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof Dr Tjia May On mengatakan, pengajaran fisika di sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) maupun sekolah menengah umum (SMU) yang hanya menekankan satu proses pemahaman fenomena alam saja-yakni proses deduktif-sebagian memang berhasil membuat anak menjadi kritis analitis, tetapi efek sampingnya membunuh kreativitas anak dalam menyisir fakta-fakta dari fenomena rumit untuk menghasilkan konsep hipotesis atau model teori yang sederhana. 

Ahli fisika partikel dan fisika material itu mengungkapkan hal ini pada hari pertama Konferensi Guru Fisika Indonesia yang berlangsung Sabtu, 29 April 2010 di Sekolah Pelita Harapan Karawaci, diikuti 500-an guru fisika SLTP dan SMU berbagai kota di Pulau Jawa dan luar Jawa. Penyelenggaraan konferensi itu sendiri berbarengan dengan Olimpiade Fisika Asia Pertama di Karawaci, Jawa Barat.

"Mengapa negara kita semrawut? Jawabannya karena orang hukum hanya bicara bukti, bukan fakta," kata Tjia saat menjelaskan betapa pencarian, pengungkapan, dan pemahaman fakta masih amat kurang dalam pendidikan secara umum di Indonesia. Dalam ceramah yang disampaikan dengan refleksi mendalam dan artikulasi fisika-filosofis yang kuat itu, Tjia menjelaskan betapa perkembangan ilmu pengetahuan umumnya dan fisika khususnya telah berlangsung melalui rute empirik. Pada masa Aristoteles, Plato, dan Socrates, menurut Tjia, kekuatan logika dan penalaran deduktif merupakan bekal dan proses yang dapat "menemukan" kebenaran. Pada paradigma baru yang dirintis oleh Francis Bacon, kemudian diperkuat oleh Galileo dan Newton, proses mencari kebenaran bersifat induktif dengan verifikasi kebenaran yang berdasarkan fakta teramati atau terukur-telah membuka cakrawala baru karena mereka menganut epistemologi sebagai "jalan raya" menuju kebenaran ilmiah.

"Ini berarti fisika adalah ilmu pengetahuan yang dibangun atas dasar fakta,  memerlukan verifikasi, dan memiliki keterbatasan validitas," katanya.

Pengajaran fisika di sekolah-sekolah menengah Indonesia, menurut pengamatan Tjia, ditekankan kepada proses deduktif dari model teori kepada ramalan-ramalan teoretik. Anak diajarkan terlatih menurunkan rumus, sebaliknya tidak diberi ruang untuk melatih melakukan generalisasi, abstraksi, atau idealisasi dari fakta atau fenomena alam untuk merumuskan suatu model teori. "Padahal, dalam melakukan generalisasi inilah tumbuh kreativitas anak dalam melihat fenomena alam," katanya.

Tjia menyarankan para guru yang mengikuti konferensi ini mulai memperkenalkan proses induktif dalam pengajaran fisika kepada murid. Yang mula-mula terjadi pada murid dengan proses ini, menurut Tjia, adalah mereka berpendapat ngawur. Namun, lama-kelamaan akan tumbuh semacam feeling fisika pada murid bila mereka terlatih melihat fenomena alam, kemudian menyisir fakta-fakta fisika yang ia peroleh, untuk merumuskannya ke dalam suatu model teori.

"Di sini para guru harus mengikis kebiasaannya menyalahkan murid kalau ngomong salah, sebaliknya justru membina murid bagaimana menguliti fakta-fakta yang kompleks hingga menemukan intinya dalam konsep atau model yang sederhana," katanya.

Ceramahnya yang berlangsung satu jam itu juga mengungkapkan betapa interaksi fisika dan teknologi saat ini sangat menguntungkan fisika dan teknologi itu sendiri.

Spektrum perhatian fisika yang luas dari partikel elementer ke jagat raya yang mahaluas dan "kerukunan" fisika dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial, menurut Tjia, memperlihatkan betapa fisika-meminjam ungkapan fisikawan terkenal Lord Rutherford-dapat dipandang seperti yang terungkap dalam "all science is either physics or stamp collecting" atau "ilmu itu hanyalah fisika, atau hanya main-main saja seperti mengumpulkan perangko."

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)