Publik Indonesia dikejutkan oleh kabar ditemukannya kontaminasi radioaktif Cesium-137 (Cs-137) di kawasan industri Modern Cikande, Banten. Isu ini bukan sekadar berita lingkungan, melainkan juga menjadi pelajaran penting tentang penerapan fisika nuklir dalam kehidupan nyata—terutama mengenai bahaya radiasi dan bagaimana ia ditangani.
Kasus ini bermula dari terdeteksinya radiasi pada produk udang beku yang diekspor dari salah satu pabrik di kawasan industri tersebut. Pemeriksaan lanjutan menemukan bahwa sejumlah area pabrik dan logam bekas (scrap metal) di sekitar lokasi mengandung isotop radioaktif Cs-137.
Investigasi oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa sumber kontaminasi kemungkinan berasal dari proses peleburan logam bekas yang tanpa sengaja tercampur material mengandung Cs-137.
Hingga kini, tercatat lebih dari 30 titik di kawasan tersebut memiliki tingkat radiasi di atas ambang normal. Pemerintah telah menetapkan Cikande sebagai zona khusus radiasi dan melakukan dekontaminasi secara bertahap.
Cesium-137 adalah isotop radioaktif dari unsur cesium (nomor atom 55) yang terbentuk dari hasil fisi nuklir uranium atau plutonium di reaktor nuklir.
Beberapa fakta penting:
- Peluruhan: Cs-137 meluruh melalui radiasi beta (β⁻) dan menghasilkan Barium-137m (Ba-137m) yang memancarkan sinar gamma berenergi sekitar 662 keV.
- Waktu paruh: ± 30 tahun — artinya, butuh 30 tahun agar aktivitas radioaktifnya berkurang setengah.
- Sifat fisik: Dapat menyebar dalam bentuk debu atau partikel logam, dan mudah menempel pada permukaan atau masuk ke tubuh melalui udara, makanan, atau air.
Karena sinar gamma-nya cukup kuat, Cs-137 sering digunakan dalam alat medis (radioterapi), kalibrasi alat ukur, dan industri. Namun jika tidak dikendalikan dengan baik, isotop ini bisa menjadi ancaman lingkungan yang serius.
Dalam fisika, radiasi gamma merupakan bentuk energi elektromagnetik dengan daya tembus tinggi. Berbeda dari cahaya biasa, radiasi gamma mampu menembus logam tipis, beton, bahkan tubuh manusia.
Tingkat bahaya radiasi diukur dalam satuan sievert (Sv). Menurut laporan resmi, di beberapa titik di Cikande ditemukan paparan mencapai ratusan mikrosievert per jam, jauh di atas batas aman untuk area publik.
Paparan jangka pendek dengan dosis tinggi dapat menimbulkan luka bakar radiasi atau penyakit radiasi akut, sementara paparan jangka panjang meningkatkan risiko kanker dan gangguan genetik.
Selain manusia, Cs-137 juga bisa mencemari tanah, air, dan rantai makanan. Partikel radioaktif yang jatuh ke permukaan tanah dapat terserap tanaman, masuk ke tubuh hewan, lalu ke manusia melalui konsumsi.
Meski begitu, hasil pemeriksaan sejauh ini menunjukkan tidak ada efek kesehatan serius pada masyarakat sekitar Cikande. Namun, para ahli menegaskan pentingnya pemantauan jangka panjang, karena Cs-137 dapat bertahan di lingkungan hingga puluhan tahun.
Pemerintah Indonesia melalui BAPETEN, KLHK, BRIN, dan Brimob KBRN bergerak cepat melakukan langkah-langkah teknis berikut:
- Pemetaan titik radiasi menggunakan detektor gamma untuk menentukan lokasi “hotspot.”
- Dekontaminasi dengan memindahkan material terpapar ke tempat penyimpanan sementara limbah radioaktif.
- Pemasangan portal radiasi di pintu keluar-masuk kawasan industri untuk mencegah penyebaran.
- Pemeriksaan kesehatan masyarakat dan pekerja, termasuk pengujian darah dan dosis radiasi internal.
- Edukasi publik agar warga tetap tenang, namun memahami cara menghindari paparan langsung.
Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa penanganan radiasi bukan hanya soal teknologi, tetapi juga tentang manajemen risiko dan komunikasi sains yang baik.
Kasus Cikande memberi gambaran nyata tentang bagaimana ilmu fisika nuklir berperan dalam:
- Deteksi radiasi: Prinsip kerja alat Geiger-Müller dan spektrometer gamma.
- Perlindungan radiasi: Konsep shielding, jarak, dan waktu paparan.
- Peluruhan nuklir: Hukum eksponensial radioaktif dengan waktu paruh tertentu.
- Keselamatan lingkungan: Aplikasi prinsip ALARA (As Low As Reasonably Achievable) untuk meminimalkan dosis radiasi.
Radiasi bisa bermanfaat sekaligus berbahaya—tergantung pada bagaimana manusia mengelolanya. Dengan pemahaman fisika yang baik, serta disiplin terhadap standar keselamatan nuklir, insiden seperti ini dapat dicegah dan ditangani dengan lebih cepat.