Sinar Rontgen atau Sinar X

0
بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّØ­ْÙ…َÙ†ِ اارَّØ­ِيم


Sinar X ditemukan oleh Wilhem Konrad Rontgen (1845–1932), seorang fisikawan asal Jerman. Dia menemukan sinar yang terpancar dari tabung crokes (tabung kaca tempat terjadinya pelucutan muatan listrik). Sinar tersebut menyebabkan beberapa zat terpendar karena adanya fluoresens. Selain itu, sinar mampu menembus zat padat misalnya kertas, kayu, logam tipis, bahkan daging manusia. Sinar yang ditemukannya diberi nama sinar X. Sinar tersebut dinamakan X karena pada waktu ditemukan, belum diketahui jenis sinarnya. Adapun sketsa tabung sinar X dapat Anda lihat pada gambar berikut:
Sketsa tabung sinar X

Sinar X adalah radiasi gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang lebih kecil daripada panjang gelombang cahaya ultraviolet. Panjang gelombang sinar X dipengaruhi beda potensial listrik yang digunakan. Semakin tinggi beda potensial yang digunakan, semakin kecil panjang gelombang yang dihasilkan. Tabung sinar X berisi gas dengan tekanan 0,001 mmHg, sedangkan beda tegangan antara katode dan anode dalam orde 103 volt sampai 106 volt. Perhatikan gambar berikut:
Proses pembentukan sinar X

Gambar tersebut menunjukkan proses pembentukan sinar X. Pada gambar tersebut, kutub katode dan kutub anode diberikan tegangan tinggi. Tegangan tinggi menyebabkan elektron dikeluarkan dari katode dan memiliki energi yang besar. Elektron akan menumbuk logam target dengan kecepatan tinggi sehingga menghasilkan sinar X.

Peristiwa sinar X jika dilihat secara mikroskopis, kejadiannya seperti berikut. Pada saat menumbuk logam, elektron yang berasal dari katode menumbuk elektron A pada kulit K. Akibat tumbukan tersebut, elektron A terpental dari orbitnya. Adapun elektron lain yang berasal dari kulit yang lebih tinggi masuk menempati tempat elektron A. Elektron tersebut memiliki energi yang lebih tinggi dibandingkan elektron A. Oleh karena itu, elektron baru dapat menempati kulit K jika sebagian energinya dilepaskan. Energi yang dilepaskan dalam bentuk sinar X. Kemungkinan lain ialah elektron yang datang menembus kulit-kulit atom dan mendekati inti atom. Pada waktu mendekati inti atom, elektron ditarik mendekati inti atom yang bermuatan positif sehingga kecepatan elektron diperlambat. Akibat perlambatan ini, energi elektron akan berkurang. Energi yang hilang dipancarkan dalam bentuk sinar X dengan proses akhir dinamakan bremsstrahlung. Energi dari sinar X sebanding dengan frekuensinya dan dirumuskan dengan persamaan berikut:

W = h.f
W = h.c/λ

Keterangan: 
W = energi (joule) 
h = tetapan Planck (6,626 × 10–34 Js) 
f = frekuensi sinar X 
c = kecepatan sinar X= kecepatan gelombang elektromagnetik = 3 × 108 m/s 
λ = panjang gelombang sinar X (m) 

Jika panjang gelombang sinar X lebih kecil dibandingkan panjang gelombang terkecil dari spektrum cahaya tampak, sinar X tidak dapat terdeteksi oleh indera penglihatan. Selain itu, ketika sinar X menembus benda, nilai intensitasnya akan berkurang. Atas dasar itulah sinar X dapat dimanfaatkan dalam bidang kedokteran. Jika jaringan tubuh sering teradiasi sinar X dalam jumlah yang besar, jaringan tubuh akan cepat rusak dalam waktu yang singkat. Dalam bidang industri, sinar X digunakan untuk menyelidiki campuran logam, menganalisis kristal, jenis-jenis bahan galian, dan digunakan untuk mendeteksi adanya cacat pada sambungan las logam. 

Penggunaan sinar X di Indonesia diatur berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa tenaga nuklir merupakan tenaga dalam bentuk apapun yang dibebaskan dalam proses transformasi inti salah satunya tenaga berasal dari sumber radiasi pengion. Berdasarkan proses terbentuknya sinar X merupakan sumber radiasi pengion sehingga dapat dikatakan bahwa kegiatan pemeriksaan dengan pesawat sinar X di bidang medis merupakan bagian pemanfaatan tenaga nuklir. Pesawat sinar X hanya dapat dioperasikan oleh operator yang memiliki kompetensi. Mereka bekerja di dalam medan radiasi sehingga disebut sebagai pekerja radiasi. Jumlah paparan radiasi yang diterima oleh pekerja radiasi lebih besar daripada paparan radiasi yang diterima oleh masyarakat umum. Nilai batas dosis (NBD) pekerja radiasi di Indonesia adalah 50 mSv per tahun. Sementara itu, NBD untuk masyarakat umum sebesar 5 mSv per tahun. NBD tidak memperhitungkan dosis radiasi yang diterima untuk keperluan medis sehingga seorang pasien dapat menerima paparan radiasi melebihi batasan untuk masyarakat umum dengan ketentuan mendapatkan rekomendasi dokter ahli, mengacu kepada penerapan asas justifikasi, limitasi dan optimisasi dosis.

Namun bukan berarti bahwa dosis radiasi diberikan dalam jumlah bebas kepada pasien yang tengah menjalani perlakuan diagnostik maupun terapi. International Atomic Energy Agancy (IAEA) dalam dokumen publikasi Basic Safety Standard 115 tahun 1996 (direvisi dengan GSR Part 3), sebagaimana telah diadopsi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi dan Keamanan Sumber Radioaktif telah memberikan perhatian terhadap keselamatan dan keamanan pasien saat menjalani diagnostik atau terapi dengan sinar X. Salah satu langkah untuk lebih memberikan jaminan ketepatan (optimisasi) dosis radiasi yang diberikan kepada pasien adalah uji kesesuaian (compliance test) pesawat sinar X. 

Secara lebih teknis dan terperinci, ketentuan mengenai uji kesesuaian pesawat sinar X telah diatur dalam Peraturan Kepala (Perka) BAPETEN No. 9 Tahun 2011 tentang Uji Kesesuaian Pesawat Sinar X Radiologi Diagnostik dan Intervensional. Di samping dioperasikan oleh operator yang handal dan legal, pesawat sinar X harus dijamin aman bagi pasien, pekerja radiasi, dan masyarakat umum di sekitarnya. Secara efektif pelaksanaan uji kesesuaian mulai dilaksanakan per 8 Juni 2012 untuk semua pesawat sinar X. 

Pelaksanaan uji kesesuaian dilakukan terhadap setiap komponen signifikan pesawat sinar X yang memengaruhi penerimaan dosis radiasi pasien untuk mengoptimalkan kualitas citra film yang dihasilkan. Komponen signifikan dimaksud, meliputi generator catu daya, panel kendali operasi, tabung dalam (insert tube), wadah tabung (housing tube), dan komponen yang terkait langsung dengan pencitraan. Dengan pelaksanaan uji terhadap komponen siginifikan tersebut akan diketahui kondisi parameter operasional, meliputi kolimasi, kualitas berkas sinar, reproduksibilitas penyinaran, indikator peringatan penyinaran, sistem interlock, kebocoran wadah tabung, laju dosis maksimum dan informasi dosis yang diterima pasien. Uji kesesuaian tersebut hanya dapat dilakukan oleh tim penguji berkualifikasi yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN). 


Sumber: BSE Fisika XII, Pujianto

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)